KEKERASAN DALAM PACARAN (KDP)

 BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kekerasan dalam pacaran (KDP) atau istilah lainnya Dating Violence didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran (Bird & Melvile 1994 dalam Adelia, 2008). Dalam sebuah diskusi mengenai kekerasan dalam pacaran, 70% remaja putri melaporkan mendapatkan pelecehan sewaktu pacaran, sedangkan remaja putra mengalami pelecehan dari pacarnya sebesar 27% (Armour, M., 2002). Rezeki (2006) dalam Nita (2010) mengutip studi di Amerika Serikat memaparkan bahwa lebih dari 500 mahasiswa dari 1000 mahasiswa Amerika Serikat pada perguruan tinggi mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar mereka. Hasil penelitian dari National Crime Victimization Survey (2006) di Amerika Serikat berkesimpulan bahwa perempuan 6 (enam) kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar maupun mantan pacar.
Menurut catatan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta tahun 1994 sampai 2001 memperlihatkan bahwa kasus kekerasan dalam berpacaran berjumlah 385 kasus dengan kasus kekerasan tertinggi yaitu pemukulan sebesar 200 kasus (51,9%) (Komnas Perempuan, 2002). Kekerasan dalam berpacaran tergolong dalam suatu bentuk perilaku menyimpang remaja yang kasusnya biasa terjadi di lingkungan sekitar namun terkadang tidak disadari baik itu oleh korban atau bahkan oleh pelakunya sendiri. Kekerasan dalam pacaran dapat membawa dampak negatif pada korbannya. Dampak yang muncul pada korban antara lain dampak psikis, cenderung berdiam diri, emosi kearah perilaku yang negatif, pembiasaan serta perasaan tak berdaya, kecenderungan menurunnya daya ingat verbal-non verbal berkaitan dengan pengalaman kekerasan yang dialaminya, munculnya perasaan bersalah pada diri korban atas terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, munculnya perasaan tertekan yang lebih dalam pada korban yang melakukan hubungan seksual dengan pacarnya dan stress (Hapsari,I. & Evi S., 2008).
Bird, Stith dan Schladale (1994) dalam Adelia (2008) menemukan hal yang unik dalam penelitian mereka tentang kekerasan dalam berpacaran. Fenomena tersebut adalah kenyataan bahwa sekitar 40-50% dari perempuan yang menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan fisik, terus melanjutkan hubungan pacaran mereka dengan pasangan yang telah menyiksanya. Hal ini memberi kesan bahwa kekerasan dalam pacaran cenderung dianggap sebagai hal yang wajar diterima sebagai risiko berpacaran sekaligus juga menyebabkan korban umumnya tetap bertahan dalam hubungan pacaran dengan kekerasan, padahal tanpa korban sadari kekerasan tersebut dapat menjadi sebuah siklus yang berkelanjutan dan dapat berdampak buruk bagi korban kekerasan sehingga dapat merusak masa depannya. Apabila perilaku ini diteruskan hingga jenjang pernikahan, dapat dipastikan perilaku kekerasan yang dialami ketika pacaran akan terus terulang setelah menikah (kekerasan dalam rumah tangga) dan dapat mengakibatkan trauma akustik bagi korban kekerasan. Selain karena anggapan tersebut, penyebab kekerasan dalam pacaran sulit terungkap dikarenakan belum ada payung hukum khusus (Ellin R., 2008). Berdasarkan uraian diatas, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ke hal-hal yang sifatnya lebih pribadi yakni kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa.

B.  Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi dari latar belakang, maka untuk memudahkan proses penelitian serta untuk lebih memfokuskan masalah maka diperlukan adanya perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya, antara lain :
1. Bagaimana proses terjadinya kekerasan dalam pacaran ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dialami dalam pacaran ?

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran serta memperoleh data empiris tentang kekerasan dalam berpacaran sedangkan secara rinci bertujuan untuk memperoleh informasi dan mendeskripsikan tentang :
1.    Proses terjadinya kekerasan dalam pacaran.
2.    Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami dalam pacaran.




D.  Paradigma
Berbagai persoalan terjadi pada usia remaja akhir mulai dari terlibat narkoba, seks bebas, geng motor, tawuran dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya. Salah satu hal yang menarik dalam kehidupan remaja akhir saat ini adalah tren pacaran, dimana gaya berpacaran di kalangan mahasiswa saat ini cenderung lebih bebas dan tidak malu-malu untuk menunjukkan kemesraan sebagai sepasang kekasih di depan umum. Sekarang ini banyak remaja yang masih berstatus sebagai mahasiswa sudah mempunyai kekasih, hal ini sangatlah wajar mengingat pada fase ini remaja akhir sudah mengalami yang namanya masa puber yakni masa dimana seseorang mengalami perubahan struktur tubuh dari anak-anak menjadi dewasa (Suryanah, 2006).
Pada masa ini terjadi perubahan yang sangat mencolok dan membutuhkan penyesuaian diri terhadap tuntutan sosial.selain perubahan secara fisik, perubahan kejiwaan atau perubahan secara emosional juga dialami oleh para remaja akhir yang pada dasarnya sangat mempengaruhi gairah seksualitas yang muncul dalam berbagai bentuk seperti mulai tertarik pada lawan jenisnya. Saling jatuh cinta di kalangan remaja akhir merupakan hal yang manusiawi karena manusia dalam hidupnya selalu membentuk hubungan sosial dengan orang lain dimana hubungan sosial ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usia manusia itu sendiri. Pada masa kanak-kanak hubungan sosial yang terbentuk adalah hubungan sosial dengan keluarga kemudian pada masa kanak-kanak menengah sampai akhir hubungan sosial yang terbentuk adalah pertemanan dengan sesama atau lawan jenisnya. Namun dalam hubungan sosial tersebut terdapat perubahan yang dramatik yang tadinya hubungan sesama teman dan hubungan orang tua anak menjadi hubungan mixed gender dan hubungan romantis, hubungan romantis ini sering juga disebut dengan pacaran (dating).
Pacaran dimulai pada masa remaja dimana terjadi perubahan radikal dari yang tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai serta ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenisnya.sebagaimana yang diungkapkan oleh A.H. Maslow bahwa : manusia memiliki beberapa kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara bertingkat dimana seseorang akan beranjak pada fase.
Pacaran merupakan masalah yang kontemporer di kalangan pemuda saat ini, sebuah tindakan yang wajar sebagai wujud dari perasaan suka kepada lawan jenis namun kebanyakan menjadi pelampiasan nafsu yang berakibat buruk bagi para pelakunya. Persoalan pacaran pun tidak hanya berhubungan dengan perilaku seks bebas tetapi juga lebih kepada tindak kekerasan terhadap pasangannya. Menurut catatan rifka annisa women’s crisis center di Yogyakarta tahun 1994 sampai 2001 memperlihatkan bahwa kasus kekerasan dalam berpacaran berjumlah 385 kasus (Komnas Perempuan, 2002).
Kekerasan dalam berpacaran tergolong dalam suatu bentuk perilaku menyimpang remaja yang kasusnya biasa terjadi di lingkungan sekitar namun terkadang tidak disadari baik itu oleh korban atau bahkan oleh pelakunya sendiri. Indahnya romantika pacaran sudah menghipnotis kalangan mahasiswa, dengan begitu banyak mahasiswa yang terlena akan hal tersebut memicu adanya kekerasan dalam pacaran.

E.  Manfaat Penelitian
Setiap hasil penelitian tentu memiliki arti, makna dan manfaat baik yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat untuk kepentingan praktis. Hasil penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki manfaat antara lain :
1.    Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dan memberikan informasi dalam memperkaya wawasan ilmu pengetahuan serta sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
2.    Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai aplikasi teori yang telah dipelajari dengan realita yang ada dan untuk menambah wawasan serta pengalaman.
3.    Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau para penegak hukum agar dapat menindak lanjuti kekerasan khususnya dalam hubungan berpacaran. Sedangkan bagi masyarakat sebagai bahan informasi, sehingga dapat berperan serta dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan dalam pacaran.

BAB II
ACUAN TEORI

A.    Kekerasan
1.      Pengertian Kekerasan
Secara umum, konsep kekerasan mengacu pada dua hal yakni pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain sehingga menyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan dan kedua, kekerasan yang merujuk pada penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2002).
2.      Jenis-Jenis Kekerasan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang bersifat terbuka (overt) maupun yang sifatnya tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) ataupun bertahan (deffensive) yang disertai dengan penggunaan kekuatankepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi, antara lain :
a.       Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian
b.      Kekerasan tertutup adalah kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam
c.       Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti pemerkosaan
d.      Kekerasan defensif adalah kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri
Definisi mengenai kekerasan dikemukakan oleh Soetandyo, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah, bersaranakan kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita dipihak yang tengah menjadi objek kekerasan (Mufida, 2004:145). Kekerasan merupakan tindakan yang terjadi dalam relasi antarmanusia sehingga untuk mengidentifikasi pelaku dan korban harus juga dilihat posisi relasi.Kekerasan hampir selalu terjadi dalam posisi hirarki.

B.     Pacaran
1.      Pengertian Pacaran
Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan (Wikipedia).

2.      Dampak Pacaran
a.       Menyempitnya pergaulan
Pacaran juga akan berdampak pada pergaulan sosial dengan teman sebaya maupun lingkungan sosial bisa menyempit. Pergaulan akan menyempit apabila kita hanya menghabiskan hari-hari kita dengan sang pacar, kemana-mana bersama pacar. Kepedulian terhadap teman kurang. Bahkan hubungan dengan keluarga pun akan renggang karena waktu yang luang hanya dihabiskan bersama sang pacar, Keluarga kita dinomor duakan padahal keluarga adalah yang paling berharga dalam hidup ini tempat tumpuan hidup dan kasih sayang tetapi menjadi nomor dua dalam hidup karena keberadan sang pacar.
b.      Menimbulkan depresi
Pacaran dapat menimbulkan depresi. Sebab tekanan jiwa atau depresi akan terjadi apabila seseorang mendapatkan beban yang berat. Depresi akan terjadi dalam pacaran jika misalnya si gadis hamil diluar nikah. Depresi akan muncul ketika si gadis tidak kuat menanggung malu dan mengalami tekanan yang luar biasa dari lingkungan, apalagi kalau sang pacar hilang tanpa jejak. Adapun depresi yang akan timbul pada laki-laki akibat pacaran jika sang pacar telah hamil dan tidak mampu untuk bertanggungjawab atas perbuatannya atau tidak mampu menjadi ayah yang akan menafkahi anak dan istrinya. Beban ini akan menimbulkan depresi bahkan lelaki bisa nekat membunuh pacarnya sendiri realita ini biasa terjadi dikalangan kita.
c.       Mengakibatkan trauma
Pacaran dapat mengakibatkan trauma terhadap pelakunya. Mereka akan dibayang-bayangi oleh kesalahanya, misal dia telah berzina dan membunuh janin dalam kandungannya sebab sang pacar tidak mau tanggungjawab. Trauma ini akan berakibat terhadap pernikahan karena tidak adanya kepercayaan terhadap laki-laki.

C.    Kekerasan dalam Pacaran
1.      Pengertian kekerasan dalam pacaran
Kekerasan dalam berpacaran atau dating violence merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga. Dari data Rifka Annisa didapat fakta yang mengejutkan bahwa dating violance menempati posisi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga. Tercatat dari 1994-2011 (Januari-Oktober), Rifka Annisa telah menangani 4952 kasus kekerasan pada perempuan, posisi pertama kasus KDRT sebanyak 3274 kasus, dan posisi kedua kasus dating violance tercatat 836 kasus.
Kekerasan dalam pacaran masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Pengertian dari kekerasan dalam pacaran adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakupi kekerasan fisik, psikologi dan ekonomi. Pelaku yang melakukan kekerasan ini meliputi semua kekerasan yang dilakukan di luar hubungan pernikahan yang sah yang tertuang dalam UU perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 mencakup kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami, mantan pacar, dan pasangan (pacar). Sedangkan menurut Office on Violence Against Women (OVW) of the U.S. Department of Justice dating violance adalah Dating violence is controlling, abusive, and aggressive behavior in a romantic relationship. It occurs in both heterosexual and homosexual relationships and can include verbal, emotional, physical, or sexual abuse, or a combination of these.
2.      Bentuk kekerasan dalam pacaran
a.       Kekerasan verbal dan emosional adalah segala bentuk perilaku pasangan yang dapat menimbulkan perasaan takut, tertekan dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan ini adalah yang paling sering terjadi namun tidak disadari oleh korbannya karena kadang dianggap sebagai rasa cemburu yang menunjukkan kasih sayang. Misalnya berupa cacian, makian, hinaan, mempermalukan pasangan di depan umum, memanipulasi, mengancam, merusak barang berharga pasangan, melacak keberadaan pasangan dengan bertanya kepada teman ataupun telepon secara berlebihan. Memonopoli waktu ataupun membatasi pergaulan pasangan juga menjadi salah satu bentuk kekerasan emosional.
b.      Kekerasan seksual biasanya berupa aktivitas seksual yang tidak dikehendaki ataupun berdasarkan paksaan dan ancaman dari pasangan. Contoh sederhana adalah mencium, memeluk, menyentuh, meraba pasangan tanpa seizin pasangan atau pada saat pasangan tidak mau diperlakukan seperti itu. Contoh yang lebih ekstrimnya adalah memanipulasi pasangan untuk berhubungan seksual atau memberikan obat bius agar pasangan mau melakukan hubungan seksual, menolak menggunakan pengaman saat berhubungan seksual. Seringkali korban dari kekerasan ini mendapat ancaman akan ditinggalkan jika ia tidak mau memenuhi keinginan pasangannya.
c.       Kekerasan fisik berupa perilaku kekerasan yang dapat menimbulkan rasa sakit ataupun luka fisik pada korbannya. Misalnya memukul, menendang, menjambak rambut, menonjok, menganiaya salah satu bagian tubuh atau lebih, memaksa ke tempat-tempat yang membahayakan keselamatan pasangan, dan lain-lain
d.      Tindakan stalking,  seperti mengikuti, membututi dan serangkaian aktivitas yang mengganggu privasi dan membatasi aktivitas sehari-hari pasangan.
3.      Penyebab kekerasan dalam pacaran
a.       Tidak Memahami Bentuk Kekerasan
Salah satu pemicu melambungnya angka kekerasan dalam pacaran adalah banyaknya kaum hawa yang tidak memahami bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh laki-laki. Karenanya, seringkali mereka tidak menyadari telah menjadi korban kekerasan sang kekasih. Dalam kasus ini, remaja paling sering jadi korban, karena kepolosannya dan ketidakpahamannya akan bentuk-bentuk kekerasan. Buruknya, tindak kekerasan bisa berkembang ke arah pemaksaaan hubungan seksual, aborsi, dan berbagai aksi lain yang berpotensi mengancam nyawa. Tentu saja, perempuanlah yang selalu jadi korban kekerasan dalam pacaran.
b.      Faktor individual.
Misalnya :  usia yang muda, berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah, serta seseorang yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
c.       Riwayat kekerasan di dalam keluarga
Ini termasuk budaya, jaringan sosial keluarga (baik yang formal maupun informal), situasi dan kondisi keluarga terdekat, serta sejarah keluarga.Kerangka semacam ini memberikan dasar bagi teori resiko kekerasan domestik berdasarkan kriteria tertentu.Karakteristik umum yang ada pada mereka adalah riwayat kekerasan yang mereka alami di masa kanak dapat berdampak ke tingkah laku mereka, sehingga mereka melakukan KDP.
d.      Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan
Pola asuh orangtua adalah interaksi orangtua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan atau disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap keinginan anak.

e.       Peer group
Peer group atau biasa disebut kelompok kecil (geng). Minat untuk kelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Yang dimaksud disini bukan sekedar kelompokbiasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group. Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya  angka kekerasa antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.
f.       Media massa
Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi ataupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakankekerasan terhadap pasangan dalam hubungan pacaran.
g.      Kepribadian
Salah satu kekerasan adalah karena factor kepribadian.Contohnya orang yang mengalami gangguan kepribadian orang yang agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustasi.
4.      Karakteristik korban kekerasan dalam pacaran
Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran adalah sebagai berikut :
a.       Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 lebih sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau pacar di bandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman, L.E, 1995)
b.      Perempuan yang memiliki teman  (peer group) pernah menjadi korban kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987)
c.       Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M, 1987)
d.      Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H. M.; Foshee, V, 1997)
e.       Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1993)





5.      Dampak Kekerasan Dalam Pacaran
Menurut Minna 2010, dampak perilaku kekerasan dalam pacaran yang dilakukan secara emosional adalah sebagai berikut :
a.       Menurunkan rasa percaya diri
Agresivitas dalam berkomunikasi seperti : membentak, memaki, tidak menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak pernah diajak diskusi yang sehta, mengancam, maupun melecehkan akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru.Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri denga lingkungan.
b.      Meningkatkan rasa cemas
Rasa tertekan yang di alami korban secara terus-menerus akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa takut melakukan kesalahan pada pacarnya.
c.       Menurunkan produktivitas kerja atau prestasi
Terbatasnya ruang gerak aktivitas social korban akibat kekerasan dalam pacaran.Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya.Hal ini diperparah dengan beerapa perasaan tidak senang yang di ungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya.
d.      Mengalami sakit fisik
Koalisasi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya sepoerti mendorong, memukul, mencekik, membunuh.Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak korban atau pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan kencan.Kekerasan fisik dapat berakibat pada psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan malu dan sebagainya.

D. Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Teori Kekerasan
Secara umum, konsep kekerasan mengacu pada dua hal yakni pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain sehingga menyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan dan kedua, kekerasan yang merujuk pada penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2002).
Dalam bahasa sehari-hari konsep kekerasan meliputi pengertian yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda, pemerkosaan, pemukulan, perusakan yang bersifat ritual, penyiksaan dan bahkan sampai pada pembunuhan. Menurut asal katanya, kekerasan (violence) berasal dari gabungan kata latin yakni vis dan latus. Vis berarti daya dan kekuatan sedangkan latus berarti membawa. Jadi secara sosiologis, kekerasan merupakan konflik sosial yang tidak terkendali oleh masyarakat dengan mengabaikan norma dan nilai sosial sehingga menimbulkan tindakan merusak.
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang bersifat terbuka (overt) maupun yang sifatnya tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) ataupun bertahan (deffensive) yang disertai dengan penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi antara lain :
a.    Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian,
b.    Kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam,
c.    Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti pemerkosaan,
d.   Kekerasan defensif adalah kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Definisi mengenai kekerasan dikemukakan oleh Soetandyo, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah, bersaranakan kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita dipihak yang tengah menjadi objek kekerasan (Mufida, 2004).
Definisi lain mengenai kekerasan dikemukakan oleh Galtung secara komprehensif, Galtung berpendapat bahwa :
Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kekerasan disini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual, disatu pihak manusia mempunyai potensi yang masih ada didalam dan dilain pihak potensi menuntut untuk diaktualkan yaitu dengan merealisasikan dan memperkembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang dipegangnya (Santoso, 2002).
Selanjutnya Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yakni :
a.    Kekerasan fisik dan psikologis.
Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak.
b.    Kekerasan positif atau negatif.
Sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian, tidak bebas, kurang terbuka dan cenderung manipulatif meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.


c.    Ada objek atau tidak.
Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.
d.   Ada subjek atau tidak.
Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung.
e.    Disengaja atau tidak.
Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat serta mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
f.     Yang tampak dan tersembunyi.
Kekerasan yang tampak nyata baik yang personal maupun struktural dapat dilihat meski secara tidak langsung sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent) tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah.
Kekerasan merupakan tindakan yang terjadi dalam relasi antarmanusia sehingga untuk mengidentifikasi pelaku dan korban harus juga dilihat posisi relasi. Kekerasan hampir selalu terjadi dalam posisi hierarki, Fiorenza menciptakan istilah kyriarkhi yang artinya situasi dalam masyarakat terstruktur hubungan atas bawah.
Dalam hubungan masyarakat seperti ini, kelompok yang berada diposisi atas sangat potensial melakukan tindakan kekerasan atau menindas kelompok yang ada dibawahnya. Struktur dominasi ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan seperti dalam aspek ekonomi (kaya-miskin, majikan-buruh), aspek sosial politik (pemerintah-rakyat), aspek sosial budaya (priayi-kaum papa, pandai-bodoh), aspek religius (agamawan-awam), aspek umur (tua-muda) dan aspek jenis kelamin (laki-laki-perempuan) (Murniati, 2004:22).
Dilihat dari aspek jenis kelamin perempuan bisa dikatakan rentan terhadap semua bentuk kekerasan atau penindasan, hal ini terjadi karena posisinya yang lemah atau karena sengaja dilemahkan baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Namun bukan berarti laki-laki juga tidak mengalami kekerasan, kekerasan dapat terjadi pada siapa saja selama ada salah satu pihak yang lebih mendominasi. Oleh karena itulah, ketimpangan yang ada antara laki-laki dan perempuan bukanlah masalah seks atau jenis kelamin yang berbeda melainkan ada konstruksi dalam pikiran tentang realitas laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Karena itulah, dalam hal ini disepakati bahwa harus dibedakan antara seks dan jender dalam rangka melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan serta untuk memandang posisi dan perannya di masyarakat. Salah satu hal yang menjadi isu dalam perspektif jender yakni mengenai kekerasan. Kekerasan adalah penyerangan (invasi) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh anggapan jender atau acap kali disebut dengan gender related violence, kekerasan terjadi baik dalam ranah publik (pemerkosaan dan pelecehan seksual) maupun dalam kehidupan pribadi seperti hubungan pacaran. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan jender diantaranya :
a.    Kekerasan dari negara yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti pelanggaran terhadap hak reproduksi,
b.    Kekerasan disektor informal misalnya pembantu rumah tangga, buruh tani dan pekerja seks,
c.    Perkosaan,
d.   Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence),
e.    Kekerasan yang dilakukan oleh pacar (dating violence).
Ideologi jender telah melahirkan perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan yang diyakini sebagai kodrat dari Tuhan yang tidak dapat dirubah, oleh karenanya jender mempengaruhi keyakinan tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berfikir dan bertindak. Perbedaan posisi laki-laki dan perempuan akibat jender tersebut ternyata menciptakan ketidakadilan dalam bentuk dominasi, diskriminasi dan marginalisasi yang merupakan sumber utama terjadinya tindakan kekerasan.
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu halus dan posisinya berada di bawah laki-laki yakni hanya melayani dan menjadikan perempuan sebagai properti (barang) milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena termasuk dengan cara kekerasan. Ada beberapa pandangan feminisme yang melihat kekerasan yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah pandangan feminisme psikoanalisis, feminisme marxis, feminisme liberal dan feminisme radikal.
Aliran feminisme psikoanalisis mengemukakan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi sebagai hasil sosialisasi yang dialami oleh seorang laki-laki semenjak masih kanak-kanak. Dalam hal ini, anak laki-laki selalu dituntut untuk memainkan perannya sebagai seseorang yang jantan dan secara tidak langsung mempelajari mengenai kekerasan semenjak masih kecil, hal ini dapat terlihat pada permainan perang-perangan yang sering dimainkan oleh anak laki-laki dalam proses sosialisasinya yang mana dalam permainan tersebut mengandung unsur kekerasan.
Dalam hal ini, feminisme psikoanalisis memberikan kontribusi terhadap gagasan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan kemaskulinitasan seseorang merupakan hasil dari sosialisasi semenjak masih kanak-kanak. Sedangkan, fokus kajian dari perspektif marxis adalah analisa kelas yang menempatkan laki-laki masuk sebagai kelas borjuis dan perempuan dalam kelas proletariat. Dalam kondisi kekuasaan yang timpang tersebut maka sangat memungkinkan jika laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, alasannya jelas yakni karena kekerasan terjadi pada saat ada ketimpangan kekuasaan dimana seseorang merasa lebih berkuasa atau lebih kuat dari orang lain. Lain halnya dengan feminisme liberal yang menyoroti masalah otonomi individu perempuan sebagai warga negara dan hak perempuan yang terpenggal. Mengenai teori liberal klasik yang melihat negara sebagai pelindung warga negaranya dianggap gagal memberikan perlindungan terhadap warganya, negara melalui kebijakan dan fungsi hukumnya tidak efisien dan gagal mengatasi kesulitan hal-hal teknis dalam mengatasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya terjadi kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi oleh negara, hal ini dapat dilihat dari kegagalan negara untuk mengadili dan memberikan hukuman terhadap pemerkosa atau pelaku kekerasan dalam berpacaran karena terjadi dalam ranah privasi yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh aliran feminisme radikal yang melihat bahwa sistem seks/jender adalah penyebab fundamental opresi terhadap perempuan yang secara historis merupakan kelompok tertindas yang pertama dalam sistem sosial. Penindasan perempuan tidak hanya terjadi dalam konteks pekerjaan, pendidikan dan media akan tetapi terjadi dalam hubungan personal yang lebih intim seperti pacaran dimana perempuan hanya menjadi objek seksual bagi laki-laki.
Menurut Masters dan Johnson (1966) bahwa konstruksi sosial dari bentuk-bentuk seksualitas tertentu sebagai normal dan superior terhadap yang lain dan merupakan alat universal yang menjadi sumber patriarki atau Adrienne Rich menyebut hal tersebut dengan compulsory heterosexuality. Disini hubungan seks dilihat sebagai instrumen laki-laki untuk menjalankan dominasinya terhadap perempuan yang argumentasinya adalah bahwa sekali tubuh perempuan dikontrol maka seluruh kehidupan perempuan akan dikendalikan (Jones, 2009:132). Penekanan hubungan antara hegemoni seksual dengan kekerasan terhadap perempuan dikemukakan oleh Andrienne Rich dan Andrea Dworkin yang mengemukakan bahwa :
Konstruksi sosial dari heteroseksual adalah presentasi publik terhadap perempuan sebagai orang yang manja dan siap sedia untuk melayani hasrat seksual laki-laki sehingga bukan hal yang mengherankan apabila terjadi pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan seksual lainnya (Jones, 2009:132).
Hal tersebut juga dipertegas oleh teori penindasan jender yang menggambarkan situasi perempuan sebagai akibat dari hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki mempunyai kepentingan mendasar dan konkret untuk mengendalikan, menggunakan, menaklukkan dan menindas perempuan yakni untuk melaksanakan dominasi. Mengacu pada pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan sebagai perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antarmanusia baik individu maupun kelompok yang dirasakan oleh salah satu pihak sebagai satu situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain sakit baik secara fisik maupun psikis serta rohani, dan individu atau kelompok yang sakit ini sulit untuk bebas dan merdeka.


2. Konsep Pacaran
Pacaran merupakan suatu konsep yang baru dan sudah sangat berakar dalam kehidupan sosial manusia, sudut pandang mengenai rumusan pacaran pun berbeda dan sangat beragam baik yang bersifat idealis maupun yang bersifat pragmatis. Dari sudut pandang idealis, rumusan pacaran biasanya dilihat dari tujuan pacaran yakni mewujudkan satu kesatuan cinta antara dua orang kekasih dalam sebuah bahtera rumah tangga sedangkan dari sudut pandang pragmatis pacaran merupakan suatu penjajakan antar individu atau pribadi untuk saling menjalin cinta kasih (Himawan, 2007:3).
Pacaran (dating) berarti seorang laki-laki dan seorang perempuan pergi keluar bersama-sama untuk melakukan berbagai aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya. Menurut Guerney dan Arthur, pacaran adalah aktivitas sosial yang membolehkan dua orang yang berbeda jenis kelamin untuk terikat dalam suatu interaksi sosial dengan pasangan yang tidak ada hubungan keluarga (http://id.shvoong.com). Definisi mengenai pacaran dikemukakan oleh Robert J Havighurst :
Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diwarnai dengan keintiman dimana keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui sebagai pacar serta dapat memenuhi kebutuhan dari kekurangan pasangannya. Kebutuhan itu meliputi empati, saling mengerti dan menghargai antarpribadi, berbagi rasa, saling percaya dan setia dalam rangka memilih pasangan hidup (Widianti, 2006:88).
Selain itu terdapat 3 (tiga) hal penting yang menjadi proses dalam berpacaran, yakni :
a.    Proses komunikatif merupakan usaha pensosialisasian diri dan kelompok terhadap individu atau komunitas lain agar terjalin hubungan yang erat dan harmonis sehingga memperoleh citra dan pengakuan eksistensi baik secara de facto maupun de jure.
b.    Proses adaptif merupakan suatu usaha penyesuaian setiap individu, kelompok dengan individu maupun kelompok masyarakat yang lain. Proses ini bisa berlangsung dalam waktu yang singkat maupun dalam waktu yang panjang sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing baik secara fisik maupun psikis.
c.    Proses interaktif merupakan suatu usaha pembauran kedalam suatu komunitas tertentu untuk menjadi satu bagian dari komunitasnya yang baru.
Pacaran terjadi sebagai proses aktualisasi dari komunikasi lahiriah (mata) dan batiniah (hati). Dari proses tersebut berlanjut keproses adaptasi antara keduanya dimana saling mencari kesesuaian baik kejiwaan, watak maupun prinsip-prinsip normatif, agama dan adat. Dalam wilayah ini akan terjadi dua pilihan alternatif yakni ketika komunikasi dan adaptasi terdapat kesesuaian dan kesepahaman maka pacaran antara keduanya akan terus berlanjut sebaliknya ketika jalinan komunikasi dan adaptasi tersebut terjadi perbedaan (secara prinsip misalnya agama) bisa jadi proses pacaran pun akan terhenti. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan suatu proses interaksi antara dua orang yang berbeda jenis kelamin untuk saling mengenal dan terlibat dalam perasaan cinta sebelum melangkah ketahap yang lebih serius yakni pernikahan.
3. Perilaku Menyimpang
Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode tersebut seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak untuk menuju ketahap selanjutnya yaitu tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan.
Remaja sebagai masa transisi sangat rentan sekali terhadap tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan norma, perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat biasa disebut dengan perilaku menyimpang. Tindak kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang karena telah bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang legal, sedangkan pengertian perilaku menyimpang atau deviasi diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik dari masyarakat (Kartono, 2007:11). Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
a.    Aspek lahiriah dibagi dalam dua kelompok yakni deviasi lahiriah dalam bentuk verbal dan deviasi lahiriah yang non verbal. Deviasi lahiriah dalam bentuk verbal berupa kata-kata makian, kata-kata kotor yang tidak
b.    Senonoh dan cabul sedangkan deviasi lahiriah yang non verbal yaitu semua tingkah laku yang non verbal yang nyata terlihat.
c.    Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi khususnya mencakup sikap-sikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang.
Selanjutnya, para penganut interaksionisme simbolik telah mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan penyimpangan yakni teori asosiasi diferensial dan teori pengendalian. Teori asosiasi diferensial mengemukakan bahwa orang belajar untuk menyimpang dengan bergaul dengan orang lain sedangkan menurut teori pengendalian mengemukakan bahwa masing-masing diantara kita didorong ke arah penyimpangan tetapi sebagian besar diantara kita konform karena adanya suatu sistem pengendalian dalam dan luar yang efektif, orang yang kurang memiliki pengendalian efektif akan menyimpang (Henslin, 2007:173).
Esensi utama dari penganut interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksionisme simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek yang melihat perilaku manusia sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan  ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mead bahwa :
Masyarakat sebagai sistem sosialisasi yang berkembang yang memberikan penegasan kreativitas dan spontanitas individu. Dalam sistem ini, sosial itu sendiri atau kepribadian sosial terbentuk melalui interaksi dan komunikasi yang memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial yang terjadi melalui pengenalan terhadap proses sosialisasi (Kinloch, 2005:151).
4. Teori Kekuasaan
Dalam setiap hubungan antarmanusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul kekuasaan, kekuasaan terdapat disemua bidang kehidupan manusia dan dijalankan oleh individu maupun kelompok. Adanya suatu kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut, rela atau karena terpaksa.
Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang biasanya orang itu dinamakan pemimpin sedangkan orang yang menerima pengaruhnya disebut sebagai pengikut. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Weber mengatakan kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu (Soekanto, 2007:230).
Seseorang yang mempunyai kekuasaan biasanya memanfaatkannya untuk hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya saja dan juga untuk melakukan kekerasan. Kajian tentang kekuasaan dan kekerasan dimulai oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan. Levia-than adalah hewan laut yang besar, menakutkan dan berkuasa atas makhluk lain dengan menggunakan kekerasan. Menurut Hobbes manusia bertindak atas dasar kepentingan diri dan menjadi fitrah manusia untuk berselisih dan bertengkar, oleh karena itu perselisihan dan pertengkaran harus diselesaikan melalui kekuasaan. Seseorang menggunakan kekuasaannya biasanya untuk melaksanakan dominasinya terhadap orang lain, menurut teoritisi penindasan dominasi adalah :
Setiap hubungan dimana pihak individu atau kolektif yang dominan berhasil membuat pihak lain (individu atau kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat kemauannya dan menolak untuk mengakui kebebasan subjektivitas pihak yang disubordinasikan. Atau sebaliknya, dilihat dari sudut pandang pihak yang disubordinasikan adalah hubungan dimana penempatan pihak yang disubordinasikan hanyalah sebagai alat kemauan pihak yang dominan (Ritzer & Douglas, 2008:427).





BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.  Deskripsi Latar
Stikes Ngudi Waluyo Ungaran merupakan salah satu sekolah tinggi yang letaknya di Kabupaten Semarang, sekolah tinggi ini memiliki 6 program studi unggulan diantaranya kesehatan masyarakat, ilmu keperawatan, ilmu gizi, farmasi, dan kebidanan. Kabupaten Semarang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Terletak pada 110o 14’ 54,75” sampai dengan 110o 39’ 3” bujur timur dan 7o 3’ 57” – 7o 30’ lintang selatan. Batas wilayah Kabupaten Semarang, Utara : Kota Semarang dan Kabupaten Demak, Selatan : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang, Timur : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan, Barat : Temanggung dan Kabupaten Kendal.

B.  Metode / Teknik Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Penelitian psikologis fenomenologis bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari (Giorgi & Giorgi, 2008). Subyek penelitan memiliki kriteria : mahasiswa yang mempunyai pacar, mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran, mahasiswa yang mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Pemilihan informan secara purposive sample dengan berdasarkan kriteria di atas dipilih 6 (enam) orang informan yang terdiri dari 2 (dua) orang mahasiswa laki-laki dan 4 (empat) orang mahasiswa perempuan.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (Indepth-Interview) dimana merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif.
Studi fenomenologis ini telah dilaksanakan pada tanggal 15 November – 6 Desember 2015 di kost/lingkungan sekitar STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.

C.  Sumber Data
Untuk mengumpulkan data penelitian ditentukan beberapa informan, dalam penelitian ini peneliti menetapkan 6 informan yang dapat memberikan informasi mengenai kekerasan dalam pacaran yang mereka alami, dimana dari penuturan 6 informan tersebut dipastikan dapat mewakili para korban kekerasan dalam pacaran dengan masalah yang sama. Penentuan informan ini dilakukan secara purposive sampling. Informan ditentukan oleh beberapa orang teridentifikasi sebagai seseorang yang mengalami kekerasan dalam pacarn dari pengakuan langsung maupun pengamatan jauh sebellum rencana penelitian ini dibuat.




D.  Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam suatu penelitian karena langkah ini sangat menentukan kualitas, keabsahan dan validitas hasil penelitian. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan pengumpulan data, sebagai berikut :
1. Data Primer
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk memperoleh data yang sekiranya dapat mendukung dan melengkapi materi atau data yang diperoleh dari hasil wawancara (Mulyana, 2008:148). Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap hal-hal yang dianggap berhubungan dengan obyek yang diteliti yakni kekerasan dalam berpacaran, penggunaan teknik observasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik wawancara.
b. Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan mahasiswa perempuan dan mahasiswa laki-laki yang ditunjang oleh pedoman wawancara berdasarkan pada daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya. Pedoman wawancara digunakan untuk mencari jawaban dari permasalahan penelitian.

2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksudkan penulis disini adalah buku-buku, teori, dalil serta berbagai informasi tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan analisa dan pembanding.

E.  Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisa secara kualitatif dengan memberikan informasi yang jelas dan mendalam, hasil dari informasi tersebut akan diinterpretasikan sesuai dengan hasil penelitian dengan mengacu pada teori yang relevan. Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan proses pengeditan, pengklasifikasian dan verifikasi.
Pengeditan yang dimaksud disini adalah langkah awal dalam teknik pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti. Dalam hal ini peneliti melakukan pemeriksaan dan pengkajian kembali atas data-data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui kelengkapan data, kejelasan makna dan kesesuaiannya dengan data yang diperlukan.
Setelah melakukan tahap pengeditan dilakukan tahap pengklasifikasian atau pengelompokan, dalam hal ini peneliti membagi temuan data yang diperoleh dari penelitian menjadi beberapa kategori tertentu, sehingga data yang diperoleh lebih mudah dipahami untuk dianalisis. Disini, peneliti mengelompokkan data menjadi dua yaitu hasil temuan saat wawancara mendalam dan hasil temuan yang didapat dari buku-buku yang dapat menunjang terealisasinya penelitian ini. Klasifikasi data ini bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memahami banyaknya data yang diperoleh dari lapangan, sehingga isi penelitian ini nantinya mudah dipahami oleh pembaca.
Tahap terakhir adalah verifikasi, verifikasi merupakan pengkonfirmasian sejumlah pertanyaan yang ada agar data yang dihasilkan diketahui kejelasan sumbernya. Hal ini sangat penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan peneliti atau dengan kata lain mengecek kembali kebenaran data yang telah diperoleh agar nantinya diketahui keakuratannya. Setelah proses wawancara mendalam dilakukan, peneliti berusaha mengkroscek kembali data yang telah peneliti catat dari informan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dan kekurangan data. Disini peneliti langsung mengkroscek data setelah wawancara mendalam dikarenakan terbatasnya waktu yang dimiliki oleh informan serta sulitnya mengatur waktu untuk bisa bertemu lagi dengan informan.

F.   Pemeriksaan Keabsahan Data
Validasi data menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding data tersebut. Dalam penelitian ini, validasi sumber yang digunakan yaitu sahabat atau teman akrab dari responden.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A.    Gambaran Umum Responden
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik Informan
Informan
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
A1
18 tahun
Perempuan
Mahasiswa
A2
19 tahun
Perempuan
Mahasiswa
A3
18 tahun
Laki-laki
Mahasiswa
A4
21 tahun
Laki-laki
Mahasiswa
A5
19 tahun
Perempuan
Mahasiswa
A6
20 tahun
Perempuan
Mahasiswa
Sumber : Data Primer

B.     Fenomena Perilaku Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Siswa
Tabel 4.2. Fenomena Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Mahasiswa
Kata Kunci
Kategori
-          Cemburu
-          Salah faham
-          Keegoisan
-          Perasaan takut
-          Tertekan
-          Tidak nyaman
-          Pertengkaran dalam pacaran

Tabel 4.3. Fenomena Faktor-Faktor Yang Memicu Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Mahasiswa
Kata Kunci
Kategori
-          Pergaulan sosial dengan teman sebaya
-          Tekanan jiwa atau depresi
-          Pengaruh media masa
-          Komitmen
-          Kejujuran
-          Peraturan
-          Hukuman
-Perilaku pasangan



-Membina hubungan
-Pola asuh orang tua



C.    Penafsiran dan Penjelasan
Berdasarkan hasil wawancara pada keenam informan tersebut didapatkan bahwa keenamnya mengalami kekerasan dalam pacaran baik secara fisik maupun psikologi. Namun, pasangan dari masing-masing keenam informan tidak menyadari bahwa diri mereka mengalami kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran mereka disebabkan karena adanya pertengkaran oleh kecemburuan dari sosial media seperti facebook (banyak cewek dalam dunia maya). Ada pula yang tidak bisa menuruti keinginannya kemudian memicu adanya pertengkaran dan muncul kata-kata yang kasar.
Kekerasan dalam pacaran tersebut dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri, orang lain maupun lingkungan. Seperti halnya banyaknya kaum hawa yang tidak memahami bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh laki-laki. Apalagi pada usia yang masih muda dan pada keadaan ekonomi yang rendah, pacaran dapat menurunkan prestasi belajar dan cenderung suka melawan orang tua.

Pada situasi dan kondisi keluarga terdekat yang dahulunya seseorang tersebut pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak akan berdampak pada tingkah lakunya pada masa sekarang. Sehingga, dapat memicu adanya kekerasan dalam pacaran. Situasi tersebut juga dipengaruhi oleh pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan seperti halnya dapat dilihat dari segi cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah serta hukuman maupun tanggapan terhadap keinginan anak. Hal itu dapat memberikan dampak pada seseorang untuk bertindak kekerasan terhadap orang lain. Karena dia cenderung untuk membalas apa yang dia rasakan sebelumnya tetapi kepada sasaran yang tidak semestinya.

Comments

Popular Posts