KEKERASAN DALAM PACARAN (KDP)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan
dalam pacaran (KDP) atau istilah lainnya Dating Violence didefinisikan
sebagai segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan,
perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan
pacaran (Bird & Melvile 1994 dalam Adelia, 2008). Dalam sebuah diskusi
mengenai kekerasan dalam pacaran, 70% remaja putri melaporkan mendapatkan
pelecehan sewaktu pacaran, sedangkan remaja putra mengalami pelecehan dari
pacarnya sebesar 27% (Armour, M., 2002). Rezeki (2006) dalam Nita (2010)
mengutip studi di Amerika Serikat memaparkan bahwa lebih dari 500 mahasiswa
dari 1000 mahasiswa Amerika Serikat pada perguruan tinggi mengalami pemerkosaan
yang dilakukan oleh pacar mereka. Hasil penelitian dari National Crime
Victimization Survey (2006) di Amerika Serikat berkesimpulan bahwa perempuan 6
(enam) kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka,
baik pacar maupun mantan pacar.
Menurut
catatan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta tahun 1994 sampai 2001
memperlihatkan bahwa kasus kekerasan dalam berpacaran berjumlah 385 kasus
dengan kasus kekerasan tertinggi yaitu pemukulan sebesar 200 kasus (51,9%)
(Komnas Perempuan, 2002). Kekerasan dalam berpacaran tergolong dalam suatu
bentuk perilaku menyimpang remaja yang kasusnya biasa terjadi di lingkungan
sekitar namun terkadang tidak disadari baik itu oleh korban atau bahkan oleh
pelakunya sendiri. Kekerasan dalam pacaran dapat membawa dampak negatif pada
korbannya. Dampak yang muncul pada korban antara lain dampak psikis, cenderung
berdiam diri, emosi kearah perilaku yang negatif, pembiasaan serta perasaan tak
berdaya, kecenderungan menurunnya daya ingat verbal-non verbal berkaitan dengan
pengalaman kekerasan yang dialaminya, munculnya perasaan bersalah pada diri
korban atas terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, munculnya perasaan
tertekan yang lebih dalam pada korban yang melakukan hubungan seksual dengan
pacarnya dan stress (Hapsari,I. & Evi S., 2008).
Bird,
Stith dan Schladale (1994) dalam Adelia (2008) menemukan hal yang unik dalam
penelitian mereka tentang kekerasan dalam berpacaran. Fenomena tersebut adalah
kenyataan bahwa sekitar 40-50% dari perempuan yang menjadi korban kekerasan,
terutama kekerasan fisik, terus melanjutkan hubungan pacaran mereka dengan
pasangan yang telah menyiksanya. Hal ini memberi kesan bahwa kekerasan dalam
pacaran cenderung dianggap sebagai hal yang wajar diterima sebagai risiko
berpacaran sekaligus juga menyebabkan korban umumnya tetap bertahan dalam
hubungan pacaran dengan kekerasan, padahal tanpa korban sadari kekerasan
tersebut dapat menjadi sebuah siklus yang berkelanjutan dan dapat berdampak
buruk bagi korban kekerasan sehingga dapat merusak masa depannya. Apabila
perilaku ini diteruskan hingga jenjang pernikahan, dapat dipastikan perilaku
kekerasan yang dialami ketika pacaran akan terus terulang setelah menikah
(kekerasan dalam rumah tangga) dan dapat mengakibatkan trauma akustik bagi
korban kekerasan. Selain karena anggapan tersebut, penyebab kekerasan dalam
pacaran sulit terungkap dikarenakan belum ada payung hukum khusus (Ellin R.,
2008). Berdasarkan uraian diatas, membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ke hal-hal yang sifatnya lebih pribadi yakni kekerasan dalam pacaran
pada mahasiswa.
B. Fokus Penelitian dan Perumusan
Masalah
Berdasarkan deskripsi dari latar belakang, maka untuk
memudahkan proses penelitian serta untuk lebih memfokuskan masalah maka
diperlukan adanya perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya, antara lain :
1.
Bagaimana proses terjadinya kekerasan dalam pacaran ?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dialami dalam pacaran ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran serta memperoleh data empiris
tentang kekerasan dalam berpacaran sedangkan secara rinci bertujuan untuk
memperoleh informasi dan mendeskripsikan tentang :
1. Proses
terjadinya kekerasan dalam pacaran.
2. Bentuk-bentuk
kekerasan yang dialami dalam pacaran.
D. Paradigma
Berbagai
persoalan terjadi pada usia remaja
akhir
mulai dari terlibat narkoba, seks bebas, geng motor, tawuran dan berbagai
bentuk penyimpangan lainnya. Salah satu hal yang menarik dalam kehidupan remaja
akhir saat ini adalah tren pacaran,
dimana gaya berpacaran di kalangan mahasiswa
saat ini cenderung lebih bebas dan tidak malu-malu untuk menunjukkan kemesraan
sebagai sepasang kekasih di depan umum. Sekarang ini banyak remaja yang masih
berstatus sebagai mahasiswa
sudah mempunyai kekasih, hal ini sangatlah wajar mengingat pada fase ini remaja
akhir sudah mengalami yang namanya masa
puber yakni masa dimana seseorang mengalami perubahan struktur tubuh dari
anak-anak menjadi dewasa (Suryanah, 2006).
Pada masa ini
terjadi perubahan yang sangat mencolok dan membutuhkan penyesuaian diri
terhadap tuntutan sosial.selain perubahan secara fisik, perubahan kejiwaan atau
perubahan secara emosional juga dialami oleh para remaja akhir yang pada dasarnya sangat
mempengaruhi gairah seksualitas yang muncul dalam berbagai bentuk seperti mulai
tertarik pada lawan jenisnya. Saling jatuh cinta di kalangan remaja akhir merupakan hal yang manusiawi karena
manusia dalam hidupnya selalu membentuk hubungan sosial dengan orang lain
dimana hubungan sosial ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usia
manusia itu sendiri. Pada masa kanak-kanak hubungan
sosial yang terbentuk adalah hubungan sosial dengan keluarga kemudian pada masa
kanak-kanak menengah sampai akhir hubungan sosial yang terbentuk adalah
pertemanan dengan sesama atau lawan jenisnya. Namun dalam hubungan sosial
tersebut terdapat perubahan yang dramatik yang tadinya hubungan sesama teman
dan hubungan orang tua anak menjadi hubungan mixed gender dan hubungan romantis, hubungan romantis ini sering
juga disebut dengan pacaran (dating).
Pacaran dimulai
pada masa remaja dimana terjadi perubahan radikal dari yang tidak menyukai
lawan jenis menjadi lebih menyukai serta ingin diterima, diperhatikan dan
dicintai oleh lawan jenisnya.sebagaimana yang diungkapkan oleh A.H. Maslow
bahwa : manusia memiliki beberapa kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara
bertingkat dimana seseorang akan beranjak pada fase.
Pacaran
merupakan masalah yang kontemporer di kalangan pemuda saat ini, sebuah tindakan
yang wajar sebagai wujud dari perasaan suka kepada lawan jenis namun kebanyakan
menjadi pelampiasan nafsu yang berakibat buruk bagi para pelakunya. Persoalan pacaran pun tidak hanya
berhubungan dengan perilaku seks bebas tetapi juga lebih kepada tindak
kekerasan terhadap pasangannya. Menurut catatan rifka annisa women’s crisis
center di Yogyakarta tahun 1994 sampai 2001 memperlihatkan bahwa kasus
kekerasan dalam berpacaran berjumlah 385 kasus (Komnas Perempuan, 2002).
Kekerasan dalam
berpacaran tergolong dalam suatu bentuk perilaku menyimpang remaja yang
kasusnya biasa terjadi di lingkungan sekitar namun terkadang tidak disadari
baik itu oleh korban atau bahkan oleh pelakunya sendiri. Indahnya romantika
pacaran sudah menghipnotis kalangan mahasiswa,
dengan begitu banyak mahasiswa
yang terlena akan hal tersebut memicu adanya kekerasan dalam pacaran.
E. Manfaat Penelitian
Setiap hasil penelitian tentu memiliki arti, makna dan
manfaat baik yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat
untuk kepentingan praktis. Hasil penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki
manfaat antara lain :
1. Manfaat
Ilmiah
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dan memberikan informasi dalam
memperkaya wawasan ilmu pengetahuan serta sebagai bahan acuan bagi peneliti
selanjutnya.
2. Manfaat
bagi Peneliti
Penelitian
ini dapat dijadikan sebagai aplikasi teori yang telah dipelajari dengan realita
yang ada dan untuk menambah wawasan serta pengalaman.
3. Manfaat
Praktis
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah atau para penegak hukum agar dapat menindak lanjuti kekerasan
khususnya dalam hubungan berpacaran. Sedangkan bagi masyarakat sebagai bahan
informasi, sehingga dapat berperan serta dalam mencegah dan menanggulangi
terjadinya kekerasan dalam pacaran.
BAB
II
ACUAN
TEORI
A.
Kekerasan
1.
Pengertian Kekerasan
Secara
umum, konsep kekerasan mengacu pada dua hal yakni pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan untuk menyakiti
orang lain sehingga menyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan dan kedua, kekerasan yang merujuk pada
penggunaan kekuatan fisik yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2002).
2.
Jenis-Jenis Kekerasan
Istilah
kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang bersifat terbuka (overt) maupun yang sifatnya
tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) ataupun bertahan (deffensive)
yang disertai dengan penggunaan kekuatankepada orang lain. Oleh karena itu, ada
empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi, antara lain :
a. Kekerasan
terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian
b. Kekerasan
tertutup adalah
kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam
c. Kekerasan
agresif adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk
mendapatkan sesuatu seperti pemerkosaan
d. Kekerasan
defensif adalah kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri
Definisi
mengenai kekerasan dikemukakan oleh Soetandyo, kekerasan adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau
yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi
lebih lemah, bersaranakan kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior
dengan kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita dipihak yang tengah menjadi
objek kekerasan (Mufida, 2004:145). Kekerasan merupakan tindakan yang terjadi
dalam relasi antarmanusia sehingga untuk mengidentifikasi pelaku dan korban
harus juga dilihat posisi relasi.Kekerasan hampir selalu terjadi dalam posisi
hirarki.
B.
Pacaran
1. Pengertian
Pacaran
Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju
kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari
tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari
kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan
tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan (Wikipedia).
2.
Dampak Pacaran
a. Menyempitnya
pergaulan
Pacaran
juga akan berdampak pada pergaulan sosial dengan teman sebaya maupun lingkungan
sosial bisa menyempit. Pergaulan akan menyempit apabila kita hanya menghabiskan
hari-hari kita dengan sang pacar, kemana-mana bersama pacar. Kepedulian
terhadap teman kurang. Bahkan hubungan dengan keluarga pun akan renggang karena
waktu yang luang hanya dihabiskan bersama sang pacar, Keluarga kita dinomor
duakan padahal keluarga adalah yang paling berharga dalam hidup ini tempat
tumpuan hidup dan kasih sayang tetapi menjadi nomor dua dalam hidup karena
keberadan sang pacar.
b. Menimbulkan
depresi
Pacaran
dapat menimbulkan depresi. Sebab tekanan jiwa atau depresi akan terjadi apabila
seseorang mendapatkan beban yang berat. Depresi akan terjadi dalam pacaran jika
misalnya si gadis hamil diluar nikah. Depresi akan muncul ketika si gadis tidak
kuat menanggung malu dan mengalami tekanan yang luar biasa dari lingkungan,
apalagi kalau sang pacar hilang tanpa jejak. Adapun depresi yang akan timbul
pada laki-laki akibat pacaran jika sang pacar telah hamil dan tidak mampu untuk
bertanggungjawab atas perbuatannya atau tidak mampu menjadi ayah yang akan
menafkahi anak dan istrinya. Beban ini akan menimbulkan depresi bahkan lelaki
bisa nekat membunuh pacarnya sendiri realita ini biasa terjadi dikalangan kita.
c. Mengakibatkan
trauma
Pacaran
dapat mengakibatkan trauma terhadap pelakunya. Mereka akan dibayang-bayangi
oleh kesalahanya, misal dia telah berzina dan membunuh janin dalam kandungannya
sebab sang pacar tidak mau tanggungjawab. Trauma ini akan berakibat terhadap
pernikahan karena tidak adanya kepercayaan terhadap laki-laki.
C. Kekerasan dalam Pacaran
1.
Pengertian kekerasan dalam pacaran
Kekerasan dalam
berpacaran atau dating violence merupakan kasus yang sering
terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga. Dari data Rifka Annisa didapat
fakta yang mengejutkan bahwa dating violance menempati posisi kedua setelah
kekerasan dalam rumah tangga. Tercatat dari 1994-2011 (Januari-Oktober), Rifka
Annisa telah menangani 4952 kasus kekerasan pada perempuan, posisi pertama
kasus KDRT sebanyak 3274 kasus, dan posisi kedua kasus dating violance tercatat
836 kasus.
Kekerasan dalam
pacaran masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam
rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya.
Pengertian dari kekerasan dalam pacaran adalah tindak kekerasan terhadap
pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakupi kekerasan fisik,
psikologi dan ekonomi. Pelaku yang melakukan kekerasan ini meliputi semua
kekerasan yang dilakukan di luar hubungan pernikahan yang sah yang tertuang
dalam UU perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 mencakup kekerasan yang
dilakukan oleh mantan suami, mantan pacar, dan pasangan (pacar). Sedangkan
menurut Office on Violence Against Women (OVW) of the U.S. Department of
Justice dating violance adalah Dating violence is controlling, abusive, and
aggressive behavior in a romantic relationship. It occurs in both heterosexual
and homosexual relationships and can include verbal, emotional, physical, or
sexual abuse, or a combination of these.
2.
Bentuk kekerasan dalam pacaran
a. Kekerasan
verbal dan emosional adalah
segala bentuk perilaku pasangan yang dapat menimbulkan perasaan takut, tertekan
dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan ini adalah yang paling sering terjadi namun
tidak disadari oleh korbannya karena kadang dianggap sebagai rasa cemburu yang
menunjukkan kasih sayang. Misalnya berupa cacian, makian, hinaan, mempermalukan
pasangan di depan umum, memanipulasi, mengancam, merusak barang berharga
pasangan, melacak keberadaan pasangan dengan bertanya kepada teman ataupun
telepon secara berlebihan. Memonopoli waktu ataupun membatasi pergaulan
pasangan juga menjadi salah satu bentuk kekerasan emosional.
b. Kekerasan
seksual biasanya berupa aktivitas
seksual yang tidak dikehendaki ataupun berdasarkan paksaan dan ancaman dari
pasangan. Contoh sederhana adalah mencium, memeluk, menyentuh, meraba pasangan
tanpa seizin pasangan atau pada saat pasangan tidak mau diperlakukan seperti
itu. Contoh yang lebih ekstrimnya adalah memanipulasi pasangan untuk
berhubungan seksual atau memberikan obat bius agar pasangan mau melakukan
hubungan seksual, menolak menggunakan pengaman saat berhubungan seksual.
Seringkali korban dari kekerasan ini mendapat ancaman akan ditinggalkan jika ia
tidak mau memenuhi keinginan pasangannya.
c. Kekerasan
fisik berupa perilaku kekerasan yang
dapat menimbulkan rasa sakit ataupun luka fisik pada korbannya. Misalnya
memukul, menendang, menjambak rambut, menonjok, menganiaya salah satu bagian
tubuh atau lebih, memaksa ke tempat-tempat yang membahayakan keselamatan
pasangan, dan lain-lain
d. Tindakan stalking,
seperti mengikuti, membututi dan serangkaian aktivitas yang
mengganggu privasi dan membatasi aktivitas sehari-hari pasangan.
3.
Penyebab kekerasan dalam pacaran
a.
Tidak Memahami Bentuk
Kekerasan
Salah satu pemicu melambungnya angka
kekerasan dalam pacaran adalah banyaknya kaum hawa yang tidak memahami
bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh laki-laki.
Karenanya, seringkali mereka tidak menyadari telah menjadi korban kekerasan
sang kekasih. Dalam kasus ini, remaja paling sering jadi korban, karena
kepolosannya dan ketidakpahamannya akan bentuk-bentuk kekerasan. Buruknya, tindak kekerasan bisa berkembang ke
arah pemaksaaan hubungan seksual, aborsi, dan berbagai aksi lain yang
berpotensi mengancam nyawa. Tentu saja, perempuanlah yang selalu jadi korban
kekerasan dalam pacaran.
b.
Faktor individual.
Misalnya : usia yang muda, berada pada level ekonomi yang
rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah, serta seseorang yang sering
mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
c.
Riwayat kekerasan di dalam keluarga
Ini termasuk budaya, jaringan sosial keluarga (baik yang
formal maupun informal), situasi dan kondisi keluarga terdekat, serta sejarah
keluarga.Kerangka semacam ini memberikan dasar bagi teori resiko kekerasan domestik
berdasarkan kriteria tertentu.Karakteristik umum yang ada pada
mereka adalah riwayat kekerasan yang mereka alami di masa kanak dapat berdampak
ke tingkah laku mereka, sehingga mereka melakukan KDP.
d.
Pola asuh dan lingkungan keluarga yang
tidak menyenangkan
Pola
asuh orangtua adalah interaksi orangtua dengan anaknya selama mengadakan
pengasuhan. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi antara lain dari
cara orang tua memberikan peraturan atau disiplin, hadiah dan hukuman, juga
tanggapan terhadap keinginan anak.
e.
Peer group
Peer
group atau biasa disebut kelompok kecil (geng). Minat untuk kelompok menjadi
bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Yang dimaksud disini bukan sekedar
kelompokbiasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi,
nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam
kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini
memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer
group. Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan
kontribusi semakin tingginya angka
kekerasa antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan
dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.
f.
Media massa
Media
massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku
agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program
siaran televisi ataupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu
tindakankekerasan terhadap pasangan dalam hubungan pacaran.
g.
Kepribadian
Salah
satu kekerasan adalah karena factor kepribadian.Contohnya orang yang mengalami
gangguan kepribadian orang yang agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang
mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila
menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustasi.
4. Karakteristik
korban kekerasan dalam pacaran
Adapun
karakteristik korban kekerasan dalam pacaran adalah sebagai berikut :
a.
Perempuan muda, berusia antara 12 hingga
18 lebih sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman,
atau pacar di bandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman, L.E,
1995)
b.
Perempuan yang memiliki teman (peer
group) pernah menjadi korban kekerasan seksual lebih sering menjadi korban
kekerasan dalam pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S,
1987)
c.
Perempuan yang jarang pergi ke tempat
ibadah (Makepeace, J. M, 1987)
d.
Perempuan yang memiliki bekas pacar
banyak (Gray, H. M.; Foshee, V, 1997)
e.
Perempuan yang sering berpacaran dan
perempuan yang pernah mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1993)
5. Dampak
Kekerasan Dalam Pacaran
Menurut
Minna 2010, dampak perilaku kekerasan dalam pacaran yang dilakukan secara
emosional adalah sebagai berikut :
a.
Menurunkan rasa percaya diri
Agresivitas
dalam berkomunikasi seperti : membentak, memaki, tidak menghargai pendapat
korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak pernah diajak diskusi yang sehta,
mengancam, maupun melecehkan akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau
tertawaan bagi teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis
akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder untuk
bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru.Akibatnya, korban
terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri denga
lingkungan.
b.
Meningkatkan rasa cemas
Rasa
tertekan yang di alami korban secara terus-menerus akan membuatnya memiliki
rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa takut melakukan kesalahan pada
pacarnya.
c.
Menurunkan produktivitas kerja atau
prestasi
Terbatasnya
ruang gerak aktivitas social korban akibat kekerasan dalam pacaran.Pengawasan
yang dilakukan pelaku menjadikan korban terbatas ruang geraknya, termasuk ruang
gerak sosialnya.Hal ini diperparah dengan beerapa perasaan tidak senang yang di
ungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya.
d.
Mengalami sakit fisik
Koalisasi
Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami
kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya sepoerti mendorong,
memukul, mencekik, membunuh.Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak
korban atau pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan
kencan.Kekerasan fisik dapat berakibat pada psikis pula, seperti menurunnya
konsentrasi, perasaan malu dan sebagainya.
D. Teori dan Hasil Penelitian
yang Relevan
1. Teori Kekerasan
Secara umum, konsep kekerasan
mengacu pada dua hal yakni pertama,
kekerasan merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain sehingga
menyebabkan luka-luka atau mengalami kesakitan dan kedua, kekerasan yang merujuk pada penggunaan kekuatan fisik
yang tidak lazim dalam suatu kebudayaan (Wiyata, 2002).
Dalam bahasa sehari-hari konsep kekerasan meliputi
pengertian yang sangat luas mulai dari tindakan penghancuran harta benda,
pemerkosaan, pemukulan, perusakan yang bersifat ritual, penyiksaan dan bahkan
sampai pada pembunuhan. Menurut asal katanya, kekerasan (violence) berasal
dari gabungan kata latin yakni vis dan latus. Vis berarti
daya dan kekuatan sedangkan latus berarti membawa. Jadi secara
sosiologis, kekerasan merupakan konflik sosial yang tidak terkendali oleh
masyarakat dengan mengabaikan norma dan nilai sosial sehingga menimbulkan
tindakan merusak.
Istilah kekerasan digunakan
untuk menggambarkan perilaku baik yang bersifat terbuka (overt) maupun
yang sifatnya tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive)
ataupun bertahan (deffensive) yang disertai dengan penggunaan kekuatan
kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat
diidentifikasi antara lain :
a.
Kekerasan terbuka
adalah kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian,
b.
Kekerasan
tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti
perilaku mengancam,
c.
Kekerasan agresif
adalah kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tetapi untuk
mendapatkan sesuatu seperti pemerkosaan,
d.
Kekerasan
defensif adalah kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Definisi mengenai kekerasan
dikemukakan oleh Soetandyo, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa
kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah,
bersaranakan kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior dengan
kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita dipihak yang tengah menjadi objek
kekerasan (Mufida, 2004).
Definisi lain mengenai kekerasan dikemukakan oleh
Galtung secara komprehensif, Galtung berpendapat bahwa :
Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi
potensialnya. Kekerasan disini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara
yang potensial dan yang aktual, disatu pihak manusia mempunyai potensi yang
masih ada didalam dan dilain pihak potensi menuntut untuk diaktualkan yaitu
dengan merealisasikan dan memperkembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai
yang dipegangnya (Santoso, 2002).
Selanjutnya Galtung juga menguraikan enam dimensi
penting dari kekerasan, yakni :
a.
Kekerasan fisik
dan psikologis.
Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia
disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan sedangkan kekerasan
psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau
otak.
b.
Kekerasan positif
atau negatif.
Sistem orientasi imbalan (reward
oriented) yang sebenarnya terdapat pengendalian, tidak bebas, kurang
terbuka dan cenderung manipulatif meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
c.
Ada objek atau
tidak.
Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman
kekerasan fisik dan psikologis meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi
tindakan manusia.
d.
Ada subjek atau
tidak.
Kekerasan disebut langsung atau personal
jika ada pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak
langsung.
e.
Disengaja atau
tidak.
Bertitik berat pada akibat dan bukan
tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk
melihat serta mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan
tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap
kekerasan.
f.
Yang tampak dan
tersembunyi.
Kekerasan yang tampak nyata baik yang personal
maupun struktural dapat dilihat meski secara tidak langsung sedangkan kekerasan
tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent) tetapi
bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi
menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun
dengan mudah.
Kekerasan merupakan tindakan
yang terjadi dalam relasi antarmanusia sehingga untuk mengidentifikasi pelaku
dan korban harus juga dilihat posisi relasi. Kekerasan hampir selalu terjadi dalam
posisi hierarki, Fiorenza menciptakan istilah kyriarkhi yang artinya
situasi dalam masyarakat terstruktur hubungan atas bawah.
Dalam hubungan masyarakat seperti ini, kelompok yang
berada diposisi atas sangat potensial melakukan tindakan kekerasan atau
menindas kelompok yang ada dibawahnya. Struktur dominasi ini terjadi dalam
berbagai aspek kehidupan seperti dalam aspek ekonomi (kaya-miskin,
majikan-buruh), aspek sosial politik (pemerintah-rakyat), aspek sosial budaya
(priayi-kaum papa, pandai-bodoh), aspek religius (agamawan-awam), aspek umur
(tua-muda) dan aspek jenis kelamin (laki-laki-perempuan) (Murniati, 2004:22).
Dilihat dari aspek jenis
kelamin perempuan bisa dikatakan rentan terhadap semua bentuk kekerasan atau
penindasan, hal ini terjadi karena posisinya yang lemah atau karena sengaja
dilemahkan baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Namun bukan berarti
laki-laki juga tidak mengalami kekerasan, kekerasan dapat terjadi pada siapa
saja selama ada salah satu pihak yang lebih mendominasi. Oleh karena itulah,
ketimpangan yang ada antara laki-laki dan perempuan bukanlah masalah seks atau
jenis kelamin yang berbeda melainkan ada konstruksi dalam pikiran tentang
realitas laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Karena itulah, dalam hal ini
disepakati bahwa harus dibedakan antara seks dan jender dalam rangka melihat
hubungan antara laki-laki dan perempuan serta untuk memandang posisi dan
perannya di masyarakat. Salah satu hal yang menjadi isu dalam perspektif jender
yakni mengenai kekerasan. Kekerasan adalah penyerangan (invasi) terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis laki-laki dan perempuan yang disebabkan
oleh anggapan jender atau acap kali disebut dengan gender related violence, kekerasan
terjadi baik dalam ranah publik (pemerkosaan dan pelecehan seksual) maupun
dalam kehidupan pribadi seperti hubungan pacaran. Banyak macam dan bentuk
kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan jender diantaranya :
a.
Kekerasan dari
negara yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti pelanggaran terhadap
hak reproduksi,
b.
Kekerasan
disektor informal misalnya pembantu rumah tangga, buruh tani dan pekerja seks,
c.
Perkosaan,
d.
Kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence),
e.
Kekerasan yang
dilakukan oleh pacar (dating violence).
Ideologi jender telah
melahirkan perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan yang diyakini
sebagai kodrat dari Tuhan yang tidak dapat dirubah, oleh karenanya jender
mempengaruhi keyakinan tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
berfikir dan bertindak. Perbedaan posisi laki-laki dan perempuan akibat jender
tersebut ternyata menciptakan ketidakadilan dalam bentuk dominasi, diskriminasi
dan marginalisasi yang merupakan sumber utama terjadinya tindakan kekerasan.
Keyakinan bahwa kodrat
perempuan itu halus dan posisinya berada di bawah laki-laki yakni hanya
melayani dan menjadikan perempuan sebagai properti (barang) milik laki-laki
yang berhak untuk diperlakukan semena-mena termasuk dengan cara kekerasan. Ada
beberapa pandangan feminisme yang melihat kekerasan yang dialami oleh perempuan
diantaranya adalah pandangan feminisme psikoanalisis, feminisme marxis,
feminisme liberal dan feminisme radikal.
Aliran feminisme psikoanalisis
mengemukakan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi sebagai hasil
sosialisasi yang dialami oleh seorang laki-laki semenjak masih kanak-kanak.
Dalam hal ini, anak laki-laki selalu dituntut untuk memainkan perannya sebagai
seseorang yang jantan dan secara tidak langsung mempelajari mengenai kekerasan
semenjak masih kecil, hal ini dapat terlihat pada permainan perang-perangan
yang sering dimainkan oleh anak laki-laki dalam proses sosialisasinya yang mana
dalam permainan tersebut mengandung unsur kekerasan.
Dalam hal ini, feminisme
psikoanalisis memberikan kontribusi terhadap gagasan bahwa kekerasan terhadap
perempuan yang terkait dengan kemaskulinitasan seseorang merupakan hasil dari
sosialisasi semenjak masih kanak-kanak. Sedangkan, fokus kajian dari perspektif
marxis adalah analisa kelas yang menempatkan laki-laki masuk sebagai kelas borjuis
dan perempuan dalam kelas proletariat. Dalam kondisi kekuasaan yang timpang
tersebut maka sangat memungkinkan jika laki-laki melakukan kekerasan terhadap
perempuan, alasannya jelas yakni karena kekerasan terjadi pada saat ada
ketimpangan kekuasaan dimana seseorang merasa lebih berkuasa atau lebih kuat
dari orang lain. Lain halnya dengan feminisme liberal yang menyoroti masalah
otonomi individu perempuan sebagai warga negara dan hak perempuan yang
terpenggal. Mengenai teori liberal klasik yang melihat negara sebagai pelindung
warga negaranya dianggap gagal memberikan perlindungan terhadap warganya,
negara melalui kebijakan dan fungsi hukumnya tidak efisien dan gagal mengatasi
kesulitan hal-hal teknis dalam mengatasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya
terjadi kekerasan terhadap perempuan yang dilegitimasi oleh negara, hal ini
dapat dilihat dari kegagalan negara untuk mengadili dan memberikan hukuman
terhadap pemerkosa atau pelaku kekerasan dalam berpacaran karena terjadi dalam
ranah privasi yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Pandangan yang
berbeda dikemukakan oleh aliran feminisme radikal yang melihat bahwa sistem
seks/jender adalah penyebab fundamental opresi terhadap perempuan yang secara
historis merupakan kelompok tertindas yang pertama dalam sistem sosial.
Penindasan perempuan tidak hanya terjadi dalam konteks pekerjaan, pendidikan
dan media akan tetapi terjadi dalam hubungan personal yang lebih intim seperti
pacaran dimana perempuan hanya menjadi objek seksual bagi laki-laki.
Menurut Masters dan Johnson
(1966) bahwa konstruksi sosial dari bentuk-bentuk seksualitas tertentu sebagai
normal dan superior terhadap yang lain dan merupakan alat universal yang
menjadi sumber patriarki atau Adrienne Rich menyebut hal tersebut dengan compulsory
heterosexuality. Disini hubungan seks dilihat sebagai instrumen laki-laki
untuk menjalankan dominasinya terhadap perempuan yang argumentasinya adalah
bahwa sekali tubuh perempuan dikontrol maka seluruh kehidupan perempuan akan
dikendalikan (Jones, 2009:132). Penekanan hubungan antara hegemoni seksual
dengan kekerasan terhadap perempuan dikemukakan oleh Andrienne Rich dan Andrea
Dworkin yang mengemukakan bahwa :
Konstruksi sosial dari heteroseksual adalah presentasi
publik terhadap perempuan sebagai orang yang manja dan siap sedia untuk
melayani hasrat seksual laki-laki sehingga bukan hal yang mengherankan apabila
terjadi pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan seksual lainnya (Jones,
2009:132).
Hal tersebut juga dipertegas
oleh teori penindasan jender yang menggambarkan situasi perempuan sebagai
akibat dari hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan dimana
laki-laki mempunyai kepentingan mendasar dan konkret untuk mengendalikan,
menggunakan, menaklukkan dan menindas perempuan yakni untuk melaksanakan
dominasi. Mengacu pada pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan
sebagai perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antarmanusia baik
individu maupun kelompok yang dirasakan oleh salah satu pihak sebagai satu
situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan dan tidak bebas.
Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain sakit baik
secara fisik maupun psikis serta rohani, dan individu atau kelompok yang sakit
ini sulit untuk bebas dan merdeka.
2.
Konsep Pacaran
Pacaran merupakan suatu konsep yang baru dan sudah
sangat berakar dalam kehidupan sosial manusia, sudut pandang mengenai rumusan
pacaran pun berbeda dan sangat beragam baik yang bersifat idealis maupun yang
bersifat pragmatis. Dari sudut pandang idealis, rumusan pacaran biasanya
dilihat dari tujuan pacaran yakni mewujudkan satu kesatuan cinta antara dua
orang kekasih dalam sebuah bahtera rumah tangga sedangkan dari sudut pandang
pragmatis pacaran merupakan suatu penjajakan antar individu atau pribadi untuk
saling menjalin cinta kasih (Himawan, 2007:3).
Pacaran (dating)
berarti seorang laki-laki dan seorang perempuan pergi keluar bersama-sama untuk
melakukan berbagai aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya. Menurut
Guerney dan Arthur, pacaran adalah aktivitas sosial yang membolehkan dua orang
yang berbeda jenis kelamin untuk terikat dalam suatu interaksi sosial dengan
pasangan yang tidak ada hubungan keluarga (http://id.shvoong.com).
Definisi mengenai pacaran dikemukakan oleh Robert J Havighurst :
Pacaran adalah hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang diwarnai dengan keintiman dimana keduanya terlibat
dalam perasaan cinta dan saling mengakui sebagai pacar serta dapat memenuhi
kebutuhan dari kekurangan pasangannya. Kebutuhan itu meliputi empati, saling
mengerti dan menghargai antarpribadi, berbagi rasa, saling percaya dan setia
dalam rangka memilih pasangan hidup (Widianti, 2006:88).
Selain itu terdapat 3 (tiga) hal penting
yang menjadi proses dalam berpacaran, yakni :
a.
Proses komunikatif
merupakan usaha pensosialisasian diri dan kelompok terhadap individu atau
komunitas lain agar terjalin hubungan yang erat dan harmonis sehingga
memperoleh citra dan pengakuan eksistensi baik secara de facto maupun de
jure.
b.
Proses adaptif
merupakan suatu usaha penyesuaian setiap individu, kelompok dengan individu
maupun kelompok masyarakat yang lain. Proses ini bisa berlangsung dalam waktu
yang singkat maupun dalam waktu yang panjang sesuai dengan kadar kemampuan
masing-masing baik secara fisik maupun psikis.
c.
Proses interaktif
merupakan suatu usaha pembauran kedalam suatu komunitas tertentu untuk menjadi
satu bagian dari komunitasnya yang baru.
Pacaran terjadi
sebagai proses aktualisasi dari komunikasi lahiriah (mata) dan batiniah (hati).
Dari proses tersebut berlanjut keproses adaptasi antara keduanya dimana saling
mencari kesesuaian baik kejiwaan, watak maupun prinsip-prinsip normatif, agama dan
adat. Dalam wilayah ini akan terjadi dua pilihan alternatif yakni ketika
komunikasi dan adaptasi terdapat kesesuaian dan kesepahaman maka pacaran antara
keduanya akan terus berlanjut sebaliknya ketika jalinan komunikasi dan adaptasi
tersebut terjadi perbedaan (secara prinsip misalnya agama) bisa jadi proses
pacaran pun akan terhenti. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa pacaran merupakan suatu proses interaksi antara dua orang
yang berbeda jenis kelamin untuk saling mengenal dan terlibat dalam perasaan
cinta sebelum melangkah ketahap yang lebih serius yakni pernikahan.
3. Perilaku Menyimpang
Masa remaja dikatakan sebagai
suatu masa yang berbahaya karena pada periode tersebut seseorang meninggalkan
tahap kehidupan anak-anak untuk menuju ketahap selanjutnya yaitu tahap
kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya
pegangan sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan.
Remaja sebagai masa transisi
sangat rentan sekali terhadap tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan
norma, perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat biasa disebut dengan perilaku menyimpang. Tindak kekerasan merupakan
suatu bentuk perilaku menyimpang karena telah bertentangan dengan hukum atau melawan
peraturan yang legal, sedangkan pengertian perilaku menyimpang atau deviasi
diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau
ciri-ciri karakteristik dari masyarakat (Kartono, 2007:11). Ciri-ciri tingkah
laku yang menyimpang dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
a.
Aspek lahiriah
dibagi dalam dua kelompok yakni deviasi lahiriah dalam bentuk verbal dan
deviasi lahiriah yang non verbal. Deviasi lahiriah dalam bentuk verbal berupa
kata-kata makian, kata-kata kotor yang tidak
b.
Senonoh dan cabul
sedangkan deviasi lahiriah yang non verbal yaitu semua tingkah laku yang non
verbal yang nyata terlihat.
c.
Aspek-aspek
simbolik yang tersembunyi khususnya mencakup sikap-sikap hidup, emosi-emosi,
sentimen-sentimen dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku
menyimpang.
Selanjutnya, para penganut
interaksionisme simbolik telah mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan
penyimpangan yakni teori asosiasi diferensial dan teori pengendalian. Teori
asosiasi diferensial mengemukakan bahwa orang belajar untuk menyimpang dengan
bergaul dengan orang lain sedangkan menurut teori pengendalian mengemukakan
bahwa masing-masing diantara kita didorong ke arah penyimpangan tetapi sebagian
besar diantara kita konform karena adanya suatu sistem pengendalian dalam dan
luar yang efektif, orang yang kurang memiliki pengendalian efektif akan
menyimpang (Henslin, 2007:173).
Esensi utama dari penganut
interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif
interaksionisme simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek yang melihat perilaku manusia sebagai proses yang memungkinkan manusia
membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra
mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mead bahwa :
Masyarakat sebagai sistem sosialisasi yang berkembang
yang memberikan penegasan kreativitas dan spontanitas individu. Dalam sistem
ini, sosial itu sendiri atau kepribadian sosial terbentuk melalui interaksi dan
komunikasi yang memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial yang terjadi
melalui pengenalan terhadap proses sosialisasi (Kinloch, 2005:151).
4. Teori Kekuasaan
Dalam setiap hubungan
antarmanusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul kekuasaan, kekuasaan
terdapat disemua bidang kehidupan manusia dan dijalankan oleh individu maupun
kelompok. Adanya suatu kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan antara
pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang
menerima pengaruh tersebut, rela atau karena terpaksa.
Apabila kekuasaan dijelmakan
pada diri seseorang biasanya orang itu dinamakan pemimpin sedangkan orang yang
menerima pengaruhnya disebut sebagai pengikut. Kekuasaan mencakup kemampuan
untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi
keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Weber mengatakan kekuasaan adalah kesempatan
seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap
tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu (Soekanto,
2007:230).
Seseorang yang mempunyai kekuasaan
biasanya memanfaatkannya untuk hal-hal yang hanya menguntungkan dirinya saja
dan juga untuk melakukan kekerasan. Kajian tentang kekuasaan dan kekerasan
dimulai oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan.
Levia-than adalah hewan laut yang besar, menakutkan dan berkuasa atas makhluk
lain dengan menggunakan kekerasan. Menurut Hobbes manusia bertindak atas dasar
kepentingan diri dan menjadi fitrah manusia untuk berselisih dan bertengkar,
oleh karena itu perselisihan dan pertengkaran harus diselesaikan melalui
kekuasaan. Seseorang menggunakan kekuasaannya biasanya untuk melaksanakan
dominasinya terhadap orang lain, menurut teoritisi penindasan dominasi
adalah :
Setiap hubungan dimana pihak individu atau kolektif
yang dominan berhasil membuat pihak lain (individu atau kolektif) yang
disubordinasikan sebagai alat kemauannya dan menolak untuk mengakui kebebasan
subjektivitas pihak yang disubordinasikan. Atau sebaliknya, dilihat dari sudut
pandang pihak yang disubordinasikan adalah hubungan dimana penempatan pihak
yang disubordinasikan hanyalah sebagai alat kemauan pihak yang dominan (Ritzer
& Douglas, 2008:427).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Deskripsi Latar
Stikes Ngudi Waluyo Ungaran merupakan salah satu sekolah
tinggi yang letaknya di Kabupaten Semarang, sekolah tinggi ini memiliki 6
program studi unggulan diantaranya kesehatan masyarakat, ilmu keperawatan, ilmu
gizi, farmasi, dan kebidanan. Kabupaten Semarang merupakan salah satu kabupaten
yang ada di Jawa Tengah. Terletak pada 110o 14’ 54,75” sampai dengan
110o 39’ 3” bujur timur dan 7o 3’ 57” – 7o 30’
lintang selatan. Batas wilayah Kabupaten Semarang, Utara : Kota Semarang dan
Kabupaten Demak, Selatan : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang, Timur :
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan, Barat : Temanggung dan Kabupaten
Kendal.
B. Metode / Teknik Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologi. Penelitian psikologis fenomenologis bertujuan untuk
mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari
(Giorgi & Giorgi, 2008). Subyek penelitan memiliki kriteria : mahasiswa
yang mempunyai pacar, mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran,
mahasiswa yang mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Pemilihan informan
secara purposive sample dengan berdasarkan kriteria di atas dipilih 6 (enam) orang informan yang terdiri dari 2
(dua) orang mahasiswa laki-laki dan 4 (empat) orang mahasiswa perempuan.
Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah wawancara
mendalam (Indepth-Interview) dimana merupakan metode pengumpulan data yang
sering digunakan dalam penelitian kualitatif.
Studi fenomenologis ini telah
dilaksanakan pada tanggal 15 November –
6 Desember 2015 di kost/lingkungan
sekitar STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.
C. Sumber
Data
Untuk mengumpulkan data penelitian ditentukan beberapa
informan, dalam penelitian ini peneliti menetapkan 6 informan yang dapat
memberikan informasi mengenai kekerasan dalam pacaran yang mereka alami, dimana
dari penuturan 6 informan tersebut dipastikan dapat mewakili para korban
kekerasan dalam pacaran dengan masalah yang sama. Penentuan informan ini
dilakukan secara purposive sampling. Informan ditentukan oleh beberapa orang
teridentifikasi sebagai seseorang yang mengalami kekerasan dalam pacarn dari
pengakuan langsung maupun pengamatan jauh sebellum rencana penelitian ini
dibuat.
D. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting
dalam suatu penelitian karena langkah ini sangat menentukan kualitas, keabsahan
dan validitas hasil penelitian. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan
pengumpulan data, sebagai
berikut :
1. Data Primer
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara
langsung untuk memperoleh data yang sekiranya dapat mendukung dan melengkapi
materi atau data yang diperoleh dari hasil wawancara (Mulyana, 2008:148). Dalam
hal ini peneliti melakukan pengamatan dan pencatatan secara langsung terhadap
hal-hal yang dianggap berhubungan dengan obyek yang diteliti yakni kekerasan
dalam berpacaran, penggunaan teknik observasi ini dimaksudkan untuk mengungkap
fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik wawancara.
b. Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan mahasiswa perempuan dan mahasiswa laki-laki yang ditunjang
oleh pedoman wawancara
berdasarkan pada daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya.
Pedoman wawancara digunakan untuk mencari jawaban dari permasalahan penelitian.
2.
Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan pada
penelitian ini adalah berupa dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksudkan penulis
disini adalah buku-buku, teori, dalil serta berbagai informasi tertulis lainnya
yang berhubungan dengan penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan analisa
dan pembanding.
E. Analisa Data
Data yang
diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisa secara kualitatif dengan
memberikan informasi yang jelas dan mendalam, hasil dari informasi tersebut
akan diinterpretasikan sesuai dengan hasil penelitian dengan mengacu pada teori
yang relevan. Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan proses
pengeditan, pengklasifikasian dan verifikasi.
Pengeditan yang dimaksud disini adalah langkah awal dalam
teknik pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti. Dalam hal ini peneliti
melakukan pemeriksaan dan pengkajian kembali atas data-data yang diperoleh dari
lapangan baik data primer maupun data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui
kelengkapan data, kejelasan makna dan kesesuaiannya dengan data yang
diperlukan.
Setelah melakukan tahap pengeditan dilakukan tahap
pengklasifikasian atau pengelompokan, dalam hal ini peneliti membagi temuan
data yang diperoleh dari penelitian menjadi beberapa kategori tertentu,
sehingga data yang diperoleh lebih mudah dipahami untuk dianalisis. Disini,
peneliti mengelompokkan data menjadi dua yaitu hasil temuan saat wawancara
mendalam dan hasil temuan yang didapat dari buku-buku yang dapat menunjang
terealisasinya penelitian ini. Klasifikasi data ini bertujuan untuk memberi
kemudahan dalam memahami banyaknya data yang diperoleh dari lapangan, sehingga
isi penelitian ini nantinya mudah dipahami oleh pembaca.
Tahap terakhir
adalah verifikasi, verifikasi merupakan pengkonfirmasian sejumlah pertanyaan
yang ada agar data yang dihasilkan diketahui kejelasan sumbernya. Hal ini
sangat penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan peneliti atau dengan kata
lain mengecek kembali kebenaran data yang telah diperoleh agar nantinya
diketahui keakuratannya. Setelah proses wawancara mendalam dilakukan, peneliti
berusaha mengkroscek kembali data yang telah peneliti catat dari informan, hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dan kekurangan data. Disini peneliti
langsung mengkroscek data setelah wawancara mendalam dikarenakan terbatasnya
waktu yang dimiliki oleh informan serta sulitnya mengatur waktu untuk bisa
bertemu lagi dengan informan.
F.
Pemeriksaan
Keabsahan Data
Validasi data menggunakan teknik triangulasi, yaitu
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar
data untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding data tersebut.
Dalam penelitian ini, validasi sumber yang digunakan yaitu sahabat atau teman
akrab dari responden.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN
A. Gambaran
Umum Responden
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik Informan
Informan
|
Umur
|
Jenis kelamin
|
Pekerjaan
|
A1
|
18 tahun
|
Perempuan
|
Mahasiswa
|
A2
|
19 tahun
|
Perempuan
|
Mahasiswa
|
A3
|
18 tahun
|
Laki-laki
|
Mahasiswa
|
A4
|
21 tahun
|
Laki-laki
|
Mahasiswa
|
A5
|
19 tahun
|
Perempuan
|
Mahasiswa
|
A6
|
20 tahun
|
Perempuan
|
Mahasiswa
|
Sumber :
Data Primer
B. Fenomena
Perilaku Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Siswa
Tabel 4.2. Fenomena
Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Mahasiswa
Kata Kunci
|
Kategori
|
-
Cemburu
-
Salah faham
-
Keegoisan
-
Perasaan takut
-
Tertekan
-
Tidak nyaman
|
-
Pertengkaran dalam
pacaran
|
Tabel 4.3. Fenomena Faktor-Faktor Yang Memicu Pertengkaran
Dalam Pacaran Pada Mahasiswa
Kata Kunci
|
Kategori
|
-
Pergaulan sosial dengan
teman sebaya
-
Tekanan jiwa atau
depresi
-
Pengaruh media masa
-
Komitmen
-
Kejujuran
-
Peraturan
-
Hukuman
|
-Perilaku pasangan
-Membina hubungan
-Pola asuh orang tua
|
C. Penafsiran dan Penjelasan
Berdasarkan
hasil wawancara pada keenam
informan tersebut didapatkan bahwa keenamnya
mengalami kekerasan dalam pacaran baik secara fisik maupun psikologi. Namun, pasangan dari masing-masing keenam informan tidak menyadari bahwa
diri mereka mengalami kekerasan dalam pacaran. Kekerasan
dalam pacaran mereka disebabkan karena adanya pertengkaran oleh kecemburuan
dari sosial media seperti facebook (banyak cewek dalam dunia maya). Ada pula yang tidak bisa menuruti
keinginannya kemudian memicu adanya pertengkaran dan muncul kata-kata yang
kasar.
Kekerasan
dalam pacaran tersebut dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang berasal
dari diri individu itu sendiri, orang lain maupun lingkungan. Seperti halnya
banyaknya kaum hawa yang tidak memahami bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh laki-laki. Apalagi pada usia yang masih muda dan
pada keadaan ekonomi yang rendah, pacaran dapat menurunkan prestasi belajar dan
cenderung suka melawan orang tua.
Pada
situasi dan kondisi keluarga terdekat yang dahulunya seseorang tersebut pernah
mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak akan berdampak pada tingkah lakunya
pada masa sekarang. Sehingga, dapat
memicu adanya kekerasan dalam pacaran. Situasi tersebut juga dipengaruhi oleh
pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan seperti halnya dapat
dilihat dari segi cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah
serta hukuman maupun tanggapan terhadap keinginan anak. Hal itu dapat
memberikan dampak pada seseorang untuk bertindak kekerasan terhadap orang lain.
Karena dia cenderung untuk membalas apa yang dia rasakan sebelumnya tetapi
kepada sasaran yang tidak semestinya.
Comments
Post a Comment